Sabtu, 28 Januari 2012

Just a feeling

breaking inside
I feel like I want to scream
to release these unwanted feelings
to just feel just
not being intimidated by any fear nor worry
to behave ordinarily
but how could I keep this distance against myself?
it keeps haunting me like a shadow
however, it is my shadow indeed
that brings all the memories
which remain alive inside
But still, this distance I need the most
To see myself beyond its shell
To reconstruct the pieces of me
I need to draw back from everything
not to lean on something or someone
but when I get this separation
will then I be able to figure out who I really am?

Selasa, 30 Agustus 2011

Mufida Ramadhina

foto om dan vida yang diambil dari laman facebook Yogyakarta.
foto oleh: Pradhoto Kurniawan

Sabtu, 13 Agustus 2011

Emotional Abuse All Parents should be Aware of




For parents, assertiveness is a way to discipline their children. To some extent, assertiveness is needed to educate and control the children’s behaviors. Yet, the problem occurs when parent’s assertiveness becomes somehow excessive.  Instead of controlling the children’s behaviors, the assertive actions can cause harmful impacts for the children. We may not aware when our firm actions hurt our children. We think that because we don’t do anything harmful physically to educate our children, we are already on the right track. Make no mistake, parent, although the children don’t get hurt physically, they are maybe hurt emotionally because of our excessive firm actions. We may unwittingly perform so-called emotional abuse to our children which according to some experts can be even more serious than any other kinds of child abuse (physical, sexual, and so on).

So, what actions are included as emotional abuse to a child? Beforehand, we need to understand the term of emotional abuse. Emotional abuse is basically parent’s actions which consistently reject the child or the child’s behaviors. As a result, the child feels unwanted and unloved. So, when we say something bad continually to our child leading the child to his low self-esteem where he feels unworthy of love, affection, friendship, and respect, then, we’ve already done the emotional abuse. Unrealistic expectation to a child’s behaviors is also considered as emotional abuse. The commonest emotional abuse intentionally or accidently undertaken by parents is repeating name calling (moron, stupid, no good, ugly, rotten, crazy, etc). Likewise, deliberating humiliation to a child in front of others (siblings, teachers, and friends) is another example of emotional abuse.

What should be noted for parents is that emotional abuse can be more serious than any other forms of abuse because the behavioral indicators are difficult to identify. Unlike any other forms of abuse which show visible injuries, emotional abuse generates hidden scars. They manifest inside and affect the child’s self-esteem and self-image.  In respond to the impacts, some children react in a passive way and the other react in an aggressive way. Some passive symptoms parents should be aware of are extreme shyness, difficulty in forming relationships, inability to relate and bond to other children, self denial, being exploited by other children, self-depricating remarks (such as “moron”, “stupid”, “no good”, etc), inability to enjoy pleasurable activities, and others. While children who respond emotional abuse in aggressive ways may perform behaviors such as bullying to others, intimidating, ridiculing to others, cruelty to other children and animals, reluctant going home, and so on.

The severe impact of emotional abuse not only affects the adolescent period but also the adulthood period.  It can cause devastating consequences to a child’s life forever. So, parents, be wise in performing assertiveness to discipline our children. Please be aware of our words when correcting children’s behaviors. Otherwise, we might have done regrettable things that already damage our children.
(from various sources)

Kamis, 14 Juli 2011

Menulis itu Menulis Saja

Kau tak perlu berpikir untuk menulis sesuatu. Seorang teman pernah berkata begitu padaku. Yah, tulis saja. Tulis apa yang terlintas dalam pikiranmu, setelah selesai baru diedit. Kau tak perlu berpikir apakah tulisanmu itu bagus atau tidak, apakah kalimatnya benar atau tidak. Yang jelas tulis dan tulis saja.
Masalah edit nanti baru dilakukan setelah selesai menulis. Rasanya terdengar mudah ya. Memang mudah tapi kadang hal itu terlalu sulit dilakukan karena seringkali kita berpikir tentang kesempurnaan tulisan kita. Itulah yang kadang membatasi. Kita menjadi tertahan di satu titik dan tidak maju satu langkah pun karena terlalu lama memikirkan hal-hal atau pun pemilihan kata yang tepat. Mengubah pola pikir yang demikian tidaklah mudah.
Setidaknya bagiku. Terlalu lama didikte untuk selalu melakukan hal benar sedikit banyak mempengaruhi cara bertindak yang kulakukan termasuk dalam menulis. Aku terlalu banyak mempertimbangkan pilihan kata yang harus kupakai dalam menulis. Mempertimbangkan apakah yang kupilih benar atau salah. Ini yang menghambat tulisan untuk mengalir dengan lancar.
Kemudian aku bertemu dengan seorang sahabat pena.  Yang menuliskan apapun yang keluar dari pikirannya. Itu membuat tulisannya begitu hidup karena aku tidak membaca sebuah surat tapi merasa seperti mendengarkan seseorang bercerita secara langsung. Surat yang ditulisnya menjadi tidak kaku dan mengalir enak. Seperti sedang bercakap-cakap saja. Hal ini memberiku inspirasi untuk melakukan hal yang sama. Yah, memang sulit sih!
Bahkan ketika aku menulis tulisan ini. Aku terkadang masih berhenti untuk sekedar mencari kata-kata yang tepat. Berhenti. Dan ini membuat apa yang ingin kutulis menjadi tersendat. Yah, beruntunglah mereka yang bisa mengalirkan ide mereka dengan lancar tanpa tersendat. Berpikir begitu aku jadi merasa betapa terbatasnya perbendaharaan kata-kataku dalam Bahasa Indonesia. Betapa banyaknya kata-kata yang seharusnya bisa kutemukan dalam KBBI yang dapat kugunakan untuk menulis dan  membuat tulisanku menjadi lebih beragam. Ah, kosakata ternyata penting juga.
Betapa banyak kata asli, serapan yang telah berkembang mewarnai keberagaman kosakata Bahasa Indonesia. Dan dulu guruku bilang, Bahasa Indonesia masih akan terus berkembang karena bahasa ini disusun dengan menyerap kata-kata dari bahasa daerah maupun asing.
Bagaimanapun juga, kegiatan menulis itu memang harus dipaksakan untuk dilakukan.Berpikir untuk menulis saja tidak cukup. Karena seringkali apa yang kita pikirkan belum tentu hasilnya akan menjadi sama saat kita mulai perjalanan menulis. Apapun bisa terjadi dalam proses itu.
Bagiku menulis bagaikan suatu perjalanan. Di awal mungkin kita telah memutuskan ingin membuat tulisan kita menjadi sesuatu sesuai yang kita rancang. Dalam perjalanannya, kita bertemu dengan beragam ide yang tiba-tiba muncul dan membuat tulisan kita menjadi berbeda dari yang kita rencanakan semula. Dan itu tidak masalah. Tidak masalah jika tulisan kita berkembang menjadi sesuatu yang berbeda. Toh, itu tetap buah pikiran kita yang ingin kita tuangkan. Paling tidak dengan menulis keruwetan yang terjadi di otak kita bisa menjadi sedikit terkurangi. Menuangkan isi gelas yang hampir penuh ke gelas lainnya dan mengisinya dengan sesuatu yang lain.
Paling tidak untukku, menulis bisa dijadikan sesuatu untuk mengisi waktu luang. Mencurahkan kegelisahan yang kadang tak dapat disampaikan pada orang lain. Jadi menulis dan menulis sajalah. Cara efektif untuk menuangkan keruwetan dan kegelisahan. Kalau lagi pengen ya menulis, kalau tidak ya tak usah. Tak ada yang akan ribut atau usil selama tulisan kita tidak berisi sesuatu yang merendahkan orang lain atau menghina orang lain. Kalau ingin mengkritik ya mengkritik saja. Tapi bukan menghina. Bebas..bebas.. sajalah! Kan dijamin undang-undang..

 Well, well.... Watta hell am I talking about here? Jez a note!